Senin, 11 Mei 2015

Makalah Tasawuf Falsafi, Tokoh-tokoh dan ajaran-ajarannya



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Istilah tasawuf adalah suatu makna yang mengandung arti tentang segala sesuatu untuk berupaya membersihkan jiwa serta mendekatkan diri kepada Allah  dengan mahabbah yang sedekat-dekatnya. Tasawuf mempunyai banyak arti dan istilah yang kesemuanya itu merupakan ajaran tentang kesehajaan, kezuhudan, keserdehanaan, jauh dari kemegahan dan selalu merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Intinya segala perilaku dan perbuatannya semata-mata hanya untuk Allah SWT.

1.2.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian Tasawuf Falsafi?
2.         Bagaimana perkembangan Tasawuf Falsafi?
3.         Apa saja karakteristik Tasawuf Falsafi?
4.         Siapakah tokoh-tokoh dalam Tasawuf Falsafi dan bagaimana ajarannya?

1.3.       Tujuan Masalah
1.         Untuk mengetahui pengertian Tasawuf Falsafi
2.         Untuk mengetahui perkembangan Tasawuf Falsafi
3.         Untuk mengetahui apa saja perkembangan Tasawuf Falsafi
4.         Untuk mengetahui siapakah tokoh-tokoh dalam tasawuf Falsafi dan bagaimana ajarannya.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi, disebut pula dengan tasawuf nazhari merupakan tasawuf yang ajarannya-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasnya. Berbeda denga tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya. Terminology falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.

2.2.       Perkembangan Tasawuf Falsafi
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad ke-6 H, meskipun tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam.
2.3.       Objek tasawuf Falsafi
Menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.
Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf Sunni. Dalam hal ini Ibnu Kladun, sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karyanya Al-Muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, yaitu:

a.       Ciri Umum Tasawuf Falsafi antara lain:
1)        Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzauq), para sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi Sunni. Sebab, masalah tersebut menurut Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun.
2)        Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib yang tampak, dan susunan komos, terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya. Mengenai iluminasi ini para sufi melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan dzikir.
3)        Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4)        Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar, yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengikarinya, menyetujuinya ataupun menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda.
b.      Ciri-ciri khusus dari Tasawuf Falsafi antara lain :
1)      Mengkonsepsikan ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara rasional dan perasaan.
2)      Mendasarkan pada latihan-latihan ruhaniah (riyadah)
3)      Iluminasi atau bayangan  sebagai metode untuk mengatahui berbagai hakekat, yang menurut penganutnya bisa dicapai dengan fana’
4)      Selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakekat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau terminologi filsafat, dan cenderung mendalam ke dalam panteisme (teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu merupakan perwujudan Tuhan).

2.4.    Tokoh dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi
A.      Ibn Arabi (560-638 H)
1.        Biografi Singkat Ibn ‘Arabi
              Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal dunia di sana pada tahun 638 H. di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Quran, hadis serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibn Hazm Az-Zhahiri.

2.        Ajaran-Ajaran Tasawuf Ibn ‘Arabi
a.        Wahdat Al-Wujud
              Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata al-wahdah digunakan oleh para ahli filsafat sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, hakikat dan bentuk, antara yang nampak dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
              Wahdat al-wujud menurut Ibn Taimiyah, adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu. Dan mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan tidak ada perbedaan.
              Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat dari wujud khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Menurutnya wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (khaliq) dengan wujud yang baru (makhluk). Hal itu tersimpul dalam ucapan Ibn ‘Arabi berikut ini: “Maha Suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”.
              Apabila dilihat dari kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam. Menurut Ibn Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain Wujud-Nya. Berarti, apapun selain Tuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan. Semua yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan tempat tajalli (penampakaan Tuhan).

b.        Haqiqah Muhammadiyyah
            Menurut Ibn ‘Arabi, Tuhan adalah Pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaanya adalah sebagai berikut:
1)        Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabith.
2)        Tanazul dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
3)        Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir.
4)        Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5)        Alam materi, yaitu alam indrawi.
            Selain itu, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dipisahkan dari ajaran Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun. Kedua, wujud haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapan sebagaimana yang dikemukakan di atas.

c.         Wahdatul Adyan (kesamaan agama)
Ibn ‘Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyyah. Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyambah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian dari luang lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal.

Sebagai kesimpulan, Hamka mengatakan:
       “Jadi Ibn Arabi telah menegakan faham serba Esa dan menolak faham serba dua. Segala sesuatu adalah atau hanyalah satu. Tetapi dia merupa dalam bentuk yang berbagi-bagi atau berubah-ubah. Berhampir dengan faham Phitagoras dalam dunia Filsafat, yang mengatakan “Jiwa segala bilangan adalah satu.”
       Pandangan-pandangan Ibn Arabi di atas terutama wahdat al-wujud telah menimbulkan kontroversi. Berbagai analisis dikemukakan oleh para ulama-ulama Islam tentang konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi ini. Ibn Taimiyah misalnya berpandangan bahwa wahdat al-wujud adalah penyamaan (tasyabbuh) antara Tuhan dan alam. Sedangkan Allah seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran berbeda dengan segala sesuatu.

B.       Al-JILI (1365-1417 M)
1.        Biografi Al-Jili
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365, di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M, kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.

2.        Ajaran Tasawuf Al-Jili
a.        Insan Kamil
       Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu Insan dan Kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti sempurna. Jadi, insan kamil berarti manusia yang sempuran.
Menurut Al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis:
خَلَقَ اللهُ اَدَمَ عَلَى صُوْرَةِ الرَّحْمَنِ
            Artinya: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”.

Sebagaiman diketahui, Tuhan mempunyai sifat hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia Adam pun mempunyai sifat seperti itu dan dapat dipahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaanya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaanya. Sebab pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiyah. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian inheren dengan esensinya. Sebab sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil.
Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya kecuali demngan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat meliht dirinya, kecuali melalui cermin insan kamil. Dan dijelaskan dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 33
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ Ÿwur šÆô_§Žy9s? ylŽy9s? Ïp¨ŠÎ=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# ( z`ôJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# šúüÏ?#uäur no4qŸ2¨9$# z`÷èÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 $yJ¯RÎ) ߃̍ムª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# Ÿ@÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãƒur #ZŽÎgôÜs?  
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semunya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”

Ketidak sempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘ardhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional (bi al-quwwah) dan mungkin secara aktual (bi al-fi’il) seperti yang terdapat dalam wali-wali, dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda.
Ciri-ciri Insan Kamil, yaitu:
1)        Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil.
2)        Berfungsi Intuisinya
Intuisi ini dalam pandangan Ibnu Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3)        Menghiasi Diri dengan Sifat-Sifat Ketuhanan
Pada uraian tentang arti insan di atas telah disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi.
4)        Berakhlak Mulia
Sejalan dengan ciri keempat di atas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan.
5)        Berjiwa Seimbang
Perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat Islam, terutama ibadah, zikir, tafakur, muhasabbah, dst.
Uraian diatas diyakini belum menjelaskan ciri-ciri insan kamil secara keseluruhan. Tetapi ciri-ciri itu saja jika diamalkan secara konsisten dipastikan akan mewujudkan insan kamil. Seluruh ciri tersebut menunjukan bahwa insan kamil lebih menunjukan kepada manusia yang segenap potensi intlektual, intuisi, rohani, hati sanubari, ketuhanan, fitrah dan kejiwaannya berfungsi dengan baik.
Jadi yang dimaksud dengan insan kamil oleh Al-Jilli adalah manusia dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya       terdapat sifat-sifat dan nama-nama illahi. Hal ini sama dengan Al-Arabi yang ajarannya lebih mengedepankan akal.

b.        Maqamat (Al-Martabah)
Al-Jilli sebagai seorang sufi dengan membawa ajaran insan kamil, maka ia juga merumuskan maqam/tingkatan yang harus dijalani oleh serang sufi pula, diantaranya:
1)      Islam, yamg didasarkan pada lima pokok atau rukun, dalam pemahaman kaum sufi, tidak hanya melakukan kelima pokok itu secara ritual, tetapi juga harus dipahami dan direalisasikannya.
2)      Iman, yakni membenarkan dalam hati denagan keyakinan yang sebenar-benarnya. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib, dan alat yang membantu seseorang untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.
3)      ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah, sehingga hal ini untuk mencapai maqam tertinggi dihadapan Allah dengan menjalankan syari’at-syari’atnya dengan baik. 
4)      Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqomah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha ataupun ikhlas.
5)      Syahadah, yakni seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah dengan ciri-ciri: mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang bersifat pribadi.
6)      shiddiqiyah, yakni seorang sufi dalm tingkatan derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang ghaib sehingga dapat mengetahui hakikat dirinya.
7)      qurbah, yakni maqam ini meupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sungguhpun manusai mampu berhias  dengan nama dan sifat Tuhan, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama Tuhan.

C.      IBN SAB’IN (614-669 H)
1.        Biografi Ibn Sab’in
Nama lengkap Ibn Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Ia di panggil Ibn Sabi’in dan digelari Quthbuddin dan dikenal pula dengan panggilan Abu Muhammad. Dia berasal dari keturunan Arab dan dilahirkan tahun 614 H (1217/1218 M) di kawasan Murcia dan lahir dari keluarga terhormat. Dia mempelajari bahasa arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat. Dia mengemukakan bahwa guru-gurunya itu adalah Ibn Dihaq, yang dikenal dengan Ibn Mir’ah (wafat 611 H).

2.        Ajaran Tasawuf Ibn Sab’in
a.        Kesatuan Mutlak
Ibn Sabi’in adalah pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya hanyalah wujud Yang Satu itu sendiri. Paham ini lebih dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni, atau menguasai, menurut terminologi Ibn Sabi’in, hampir tidak mugkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri.
Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab  wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan. Pemikiran-pemikiran Ibn Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an  yang diinterpretasikan secara filosofis maupun khusus. Misalnya dalam surat Al-Hadid ayat 3
uqèd ãA¨rF{$# ãÅzFy$#ur ãÎg»©à9$#ur ß`ÏÛ$t7ø9$#ur ( uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ  
“Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin..”
Dan diperkuat dengan hadist qudsi yang artinya: ”Apa yang pertama-tama diciptakan adalah akal budi, maka firman Allah kepadanya maka Terimalah! Ia pun menerimanya...
Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut merupakan dasar paham, khusunya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun pengakraban Allah SWT. Paham ini sama dengan paham hakikat Muhammad SAW. Pencapai kesatuan mutlak menurut  Ibn Sabi’in adalah individu yang paling sempurna, sempurna yang dimilki seoran faqih, teolog, filsuf ataupun sufi.

b.         Penolakan terhadap Logika Aristotelian
Paham kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian. Terbukti dalam karyanya Budd Al-A’rif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatif sebagai pengganti logika yang berdasaarkan pada konsepsi jamak. Ibn sabi’in menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan panalaran, tetapi termasuk tembusan illahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun yang pernah didengarnya.
Kesimpulan penting Ibn Sabi’in dengan logikanya tersebut adalah bahwa realitasa-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka. Ibn Sab’in mengembankan pahamnyan tentang kesatuan mutlak, ke berbagai bidang bahasan filosofis. Misalnya, menurutnya jiwa dan akal-budi tidak mempunyai wujudnya sendiri, tetapi wujud keduanya berasal dari yang satu , dan yang satu tersebut tidak terbilang.
Di samping itu, Ibn Sab’in berpendapat bahwa para pencapai kesatuan mutlak adalah kebahagiaan itu sendiri, kebajikan itu senidri, dan kedermawanan itu sendiri. Yang menarik dari pendapat Ibn Sa’bin ialah bahwa latihan-latihan rohaniah, yang bisa mengantar pada moral luhur, tunduk di bawah konsepsinya tentang wujud. Misalnya saja dzikir seorang pencapai kesatuan mutlak adalah ungkapan “tidak ada yang wujud selain Allah” sebagai ganti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Si pendzikir dalam dzikir ini sendiri adalah yang dzikir. Sementara tingkatan dan keadaan, yang merupaka buah dari dzikir, tidak keluar dari ruang lingkup kesatuan mutlak tersebut.











BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari materi-materi yang dijelaskan di atas mengenai pembahasan tasawuf falsafi, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.        Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasional (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdat al- wujud (kesatuan wujud).
2.        Tokoh-tokoh tasawuf falsafi serta ajaran-ajarannya antara lain yaitu:
a.         Ibn Arabi
Ajaran tasawufnya yaitu yang paling sentral adalah wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
b.         Al-Jilli
Ajaran tasawufnya yaitu tentang insan kamil (manusia sempurna).
c.         Ibn Sabi’in
Ajaran tasawufnya yaitu tentang kesatuan mutlak dan ia menolak terhadap logika Aristotelian.
Jadi yang menjadi karakteristik dari tasawuf falsafi adalah ajarannya lebih mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam, mengedepankan akal, ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional.








      DAFTAR PUSTAKA

Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Moh. Toriquddin. 2008. Sekularitas Tasawuf. Malang: UIN Malang Press.
M. Afif Anshor. 2004. Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri. Yogyakarta:        Gelombang Pasang.
M. Solihin dan Rosihan Anwar. 2002. Kamus Tasawuf Bandung: Remaja   Rosdakarya
Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar