BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Istilah tasawuf adalah
suatu makna yang mengandung arti tentang segala sesuatu untuk berupaya
membersihkan jiwa serta mendekatkan diri kepada Allah dengan mahabbah
yang sedekat-dekatnya. Tasawuf mempunyai banyak arti dan istilah yang
kesemuanya itu merupakan ajaran tentang kesehajaan, kezuhudan, keserdehanaan,
jauh dari kemegahan dan selalu merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Intinya
segala perilaku dan perbuatannya semata-mata hanya untuk Allah SWT.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Tasawuf Falsafi?
2.
Bagaimana perkembangan Tasawuf Falsafi?
4.
Siapakah tokoh-tokoh dalam Tasawuf Falsafi dan
bagaimana ajarannya?
1.3.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui pengertian Tasawuf Falsafi
2.
Untuk mengetahui perkembangan Tasawuf Falsafi
3.
Untuk mengetahui apa saja perkembangan Tasawuf
Falsafi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian
Tasawuf Falsafi
Tasawuf
falsafi, disebut pula dengan tasawuf nazhari merupakan tasawuf yang
ajarannya-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai
pengasasnya. Berbeda denga tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan
terminology filosofis dalam pengungkapannya. Terminology falsafi tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para
tokohnya.
2.2.
Perkembangan
Tasawuf Falsafi
Menurut
At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam
sejak abad ke-6 H, meskipun tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu,
tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi
yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara
tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah
membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran
filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan
tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun
mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam,
seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya
tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila
dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam.
2.3.
Objek tasawuf
Falsafi
Menurut At-Taftazani, ciri umum
tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah
khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf
jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran
dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula
dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya
sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.
Tasawuf falsafi memiliki objek
tersendiri yang berbeda dengan tasawuf Sunni. Dalam hal ini Ibnu Kladun,
sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karyanya Al-Muqaddimah,
menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi
filosof, yaitu:
a.
Ciri Umum Tasawuf Falsafi antara lain:
1)
Latihan
rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya.
Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah
serta rasa (dzauq), para sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi
Sunni. Sebab, masalah tersebut menurut Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu yang
tidak dapat ditolak oleh siapa pun.
2)
Iluminasi atau
hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, ‘arsy,
kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang
gaib yang tampak, dan susunan komos, terutama tentang Penciptanya dan
penciptaannya. Mengenai iluminasi ini para sufi melakukan latihan rohaniah
dengan mematikan kekuatan syahwat serta menggairahkan roh dengan jalan
menggiatkan dzikir.
3)
Peristiwa-peristiwa
dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan
atau keluarbiasaan.
4)
Penciptaan
ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar, yang dalam hal ini
telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengikarinya, menyetujuinya ataupun
menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda.
b.
Ciri-ciri khusus dari
Tasawuf Falsafi antara lain :
1)
Mengkonsepsikan
ajaran-ajarannya dengan menggabungkan antara rasional dan perasaan.
2)
Mendasarkan pada
latihan-latihan ruhaniah (riyadah)
3)
Iluminasi atau
bayangan sebagai metode untuk mengatahui berbagai hakekat, yang menurut
penganutnya bisa dicapai dengan fana’
4)
Selalu menyamarkan
ungkapan-ungkapan tentang hakekat realitas-realitas dengan berbagai simbol atau
terminologi filsafat,
dan cenderung mendalam ke dalam panteisme (teori yang berpendapat bahwa segala
sesuatu merupakan perwujudan Tuhan).
2.4.
Tokoh dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi
A. Ibn Arabi (560-638 H)
1.
Biografi
Singkat Ibn ‘Arabi
Nama
lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I
Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari
keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz
dan meninggal dunia di sana pada tahun 638 H. di Sevilla (Spanyol), ia
mempelajari Al-Quran, hadis serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih
Andalusia terkenal, yaitu Ibn Hazm Az-Zhahiri.
2.
Ajaran-Ajaran
Tasawuf Ibn ‘Arabi
a.
Wahdat Al-Wujud
Wahdat
al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud.
Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.
Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata al-wahdah
digunakan oleh para ahli filsafat sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi
dan roh, hakikat dan bentuk, antara yang nampak dan yang batin, antara alam dan
Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan. Pengertian
wahdatul wujud yang terakhir itulah yang digunakan para sufi, yaitu paham bahwa
antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
Wahdat al-wujud menurut Ibn Taimiyah, adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang-orang yang mempunyai
pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu.
Dan mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan tidak ada perbedaan.
Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang
ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat dari wujud khaliq tidak ada
perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Menurutnya wujud alam pada
hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada
perbedaan antara wujud yang qadim (khaliq) dengan wujud yang baru (makhluk).
Hal itu tersimpul dalam ucapan Ibn ‘Arabi berikut ini: “Maha Suci Tuhan yang
telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah
hakikat segala sesuatu itu”.
Apabila dilihat dari kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud
Tuhan bersatu dengan wujud alam. Menurut Ibn Arabi wujud yang mutlak adalah
wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain Wujud-Nya. Berarti, apapun selain Tuhan,
baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Dalam
bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh khalik (Tuhan) dan
wujudnya bergantung pada wujud Tuhan. Semua yang berwujud selain Tuhan tidak
akan mempunyai wujud seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu, Tuhanlah
sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan hanya
mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Alam
ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai
wujud sebenarnya. Oleh karena itu alam merupakan tempat tajalli (penampakaan
Tuhan).
b.
Haqiqah
Muhammadiyyah
Menurut
Ibn ‘Arabi, Tuhan adalah Pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaanya
adalah sebagai berikut:
1)
Tajalli dzat
Tuhan dalam bentuk a’yan tsabith.
2)
Tanazul dzat
Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas realitas rohaniah, yaitu
alam arwah yang mujarrad.
3)
Tanazul kepada
realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir.
4)
Tanazul Tuhan
dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5)
Alam materi,
yaitu alam indrawi.
Selain
itu, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dipisahkan dari
ajaran Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan
kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan
tidak berhajat kepada suatu apa pun. Kedua, wujud haqiqah Muhammadiyyah
sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul
segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapan sebagaimana yang dikemukakan di
atas.
c.
Wahdatul Adyan
(kesamaan agama)
Ibn ‘Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat
Muhammadiyyah. Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu
kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyambah
Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan
bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang semua apa saja
sebagai bagian dari luang lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal.
Sebagai
kesimpulan, Hamka mengatakan:
“Jadi Ibn Arabi telah menegakan faham
serba Esa dan menolak faham serba dua. Segala sesuatu adalah atau hanyalah
satu. Tetapi dia merupa dalam bentuk yang berbagi-bagi atau berubah-ubah.
Berhampir dengan faham Phitagoras dalam dunia Filsafat, yang mengatakan “Jiwa
segala bilangan adalah satu.”
Pandangan-pandangan
Ibn Arabi di atas terutama wahdat al-wujud telah menimbulkan kontroversi.
Berbagai analisis dikemukakan oleh para ulama-ulama Islam tentang konsep wahdat
al-wujud Ibn Arabi ini. Ibn Taimiyah misalnya berpandangan bahwa wahdat
al-wujud adalah penyamaan (tasyabbuh) antara Tuhan dan alam. Sedangkan Allah
seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran berbeda dengan segala sesuatu.
B.
Al-JILI
(1365-1417 M)
1.
Biografi
Al-Jili
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir
pada tahun 1365, di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia
dan wafat pada tahun 1417 M. ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad.
Sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun
1387 M, kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Jailani,
seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping
itu, berguru pula pada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di
Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.
2.
Ajaran Tasawuf
Al-Jili
a.
Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa Arab,
yaitu Insan dan Kamil. Secara harfiah, insan berarti
manusia, dan kamil berarti sempurna. Jadi, insan kamil berarti manusia
yang sempuran.
Menurut
Al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti
disebutkan dalam hadis:
خَلَقَ اللهُ اَدَمَ عَلَى صُوْرَةِ الرَّحْمَنِ
Artinya: “Allah menciptakan Adam
dalam bentuk yang Maharahman”.
Sebagaiman diketahui, Tuhan mempunyai sifat hidup,
pandai, mampu berkehendak, mendengar dan sebagainya. Manusia Adam pun mempunyai
sifat seperti itu dan dapat dipahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaanya
merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaanya. Sebab
pada dirinya terdapat sifat dan nama ilahiyah. Al-Jilli berpendapat bahwa
nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan
kamil sebagai suatu kemestian inheren dengan esensinya. Sebab sifat-sifat
dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil.
Perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan
cermin. Seseorang tidak dapat melihat dirinya kecuali melalui cermin itu.
Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya kecuali
demngan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat meliht dirinya,
kecuali melalui cermin insan kamil. Dan dijelaskan dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 33
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ wur Æô_§y9s? yly9s? Ïp¨Î=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# (
z`ôJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# úüÏ?#uäur no4q2¨9$# z`÷èÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4
$yJ¯RÎ) ßÌã ª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# @÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãur #ZÎgôÜs?
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semunya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhya
manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”
Ketidak sempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal
yang bersifat ‘ardhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al
kamal dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional
(bi al-quwwah) dan mungkin secara aktual (bi al-fi’il) seperti yang terdapat
dalam wali-wali, dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda.
Ciri-ciri Insan Kamil,
yaitu:
1)
Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib
melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat
mendekati tingkat insan kamil.
2)
Berfungsi Intuisinya
Intuisi ini dalam pandangan Ibnu Sina disebut jiwa
manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia
adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati
kesempurnaan.
3)
Menghiasi Diri dengan Sifat-Sifat
Ketuhanan
Pada uraian tentang arti insan di atas telah
disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan
(fitrah). Ia cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan
mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka
bumi.
4)
Berakhlak Mulia
Sejalan dengan ciri keempat di atas, insan kamil
juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek,
yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan.
5)
Berjiwa Seimbang
Perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu
seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual. Ini berarti
perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat
Islam, terutama ibadah, zikir, tafakur, muhasabbah, dst.
Uraian diatas diyakini
belum menjelaskan ciri-ciri insan kamil secara keseluruhan. Tetapi ciri-ciri
itu saja jika diamalkan secara konsisten dipastikan akan mewujudkan insan
kamil. Seluruh ciri tersebut menunjukan bahwa insan kamil lebih menunjukan
kepada manusia yang segenap potensi intlektual, intuisi, rohani, hati sanubari,
ketuhanan, fitrah dan kejiwaannya berfungsi dengan baik.
Jadi yang dimaksud dengan insan kamil
oleh Al-Jilli adalah manusia dengan segala kesempurnaannya,
sebab pada dirinya terdapat sifat-sifat dan
nama-nama illahi. Hal ini sama dengan Al-Arabi yang ajarannya lebih
mengedepankan akal.
b.
Maqamat (Al-Martabah)
Al-Jilli sebagai seorang sufi dengan membawa ajaran
insan kamil, maka ia juga merumuskan maqam/tingkatan yang harus dijalani oleh
serang sufi pula, diantaranya:
1) Islam, yamg didasarkan pada lima pokok atau rukun,
dalam pemahaman kaum sufi, tidak hanya melakukan kelima pokok itu secara
ritual, tetapi juga harus dipahami dan direalisasikannya.
2) Iman, yakni membenarkan dalam hati denagan
keyakinan yang sebenar-benarnya. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap
tabir alam ghaib, dan alat yang membantu seseorang untuk mencapai maqam yang
lebih tinggi.
3) ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi
mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah, sehingga hal ini untuk
mencapai maqam tertinggi dihadapan Allah dengan menjalankan
syari’at-syari’atnya dengan baik.
4) Ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa
seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek nama dan sifat Tuhan,
sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya.
Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqomah dalam
tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, ridha ataupun ikhlas.
5) Syahadah, yakni seorang sufi dalam maqam ini telah
mencapai iradah dengan ciri-ciri: mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih,
mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang bersifat
pribadi.
6) shiddiqiyah, yakni seorang sufi dalm tingkatan
derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang ghaib sehingga dapat mengetahui
hakikat dirinya.
7) qurbah, yakni maqam ini meupakan maqam yang
memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang
mendekati sifat dan nama Tuhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sungguhpun manusai
mampu berhias dengan nama dan sifat
Tuhan, akan tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa manusia itu tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama
Tuhan.
C.
IBN SAB’IN (614-669 H)
1.
Biografi Ibn Sab’in
Nama lengkap Ibn
Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufi yang juga
filosof dari Andalusia. Ia di panggil Ibn Sabi’in dan digelari Quthbuddin dan
dikenal pula dengan panggilan Abu Muhammad. Dia berasal dari keturunan Arab dan
dilahirkan tahun 614 H (1217/1218 M) di kawasan Murcia dan lahir dari keluarga
terhormat. Dia mempelajari bahasa arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu
agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika dan filsafat. Dia mengemukakan
bahwa guru-gurunya itu adalah Ibn Dihaq, yang dikenal dengan Ibn Mir’ah (wafat
611 H).
2.
Ajaran Tasawuf Ibn Sab’in
a.
Kesatuan Mutlak
Ibn Sabi’in adalah pengasas sebuah paham dalam
kalangan tasawuf filosofis yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan
esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud
yang lainnya hanyalah wujud Yang Satu itu sendiri. Paham ini lebih dikenal
dengan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni, atau
menguasai, menurut terminologi Ibn Sabi’in, hampir tidak mugkin mendeskripsikan
kesatuan itu sendiri.
Dalam paham ini, Ibn Sabi’in menempatkan
ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud Allah menurutnya adalah asal
segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa depan.
Pemikiran-pemikiran Ibn Sabi’in merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an yang
diinterpretasikan secara filosofis maupun khusus. Misalnya dalam surat Al-Hadid ayat 3
uqèd ãA¨rF{$# ãÅzFy$#ur ãÎg»©à9$#ur ß`ÏÛ$t7ø9$#ur (
uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ
“Dialah
yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin..”
Dan diperkuat dengan hadist qudsi yang artinya: ”Apa yang pertama-tama diciptakan adalah akal budi, maka firman Allah
kepadanya maka Terimalah! Ia pun menerimanya...
Pendapat Ibn sabi’in tentang kesatuan mutlak
tersebut merupakan dasar paham, khusunya tentang para pencapai kesatuan mutlak
ataupun pengakraban Allah SWT. Paham ini sama dengan paham hakikat Muhammad
SAW. Pencapai kesatuan mutlak menurut Ibn Sabi’in adalah individu yang
paling sempurna, sempurna yang dimilki seoran faqih, teolog, filsuf ataupun
sufi.
b.
Penolakan terhadap Logika
Aristotelian
Paham kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian.
Terbukti dalam karyanya Budd Al-A’rif, ia menyusun suatu logika baru yang
bercorak iluminatif sebagai pengganti logika yang berdasaarkan pada konsepsi
jamak. Ibn sabi’in menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian
kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan
panalaran, tetapi termasuk tembusan illahi yang membuat manusia bisa melihat
yang belum pernah dilihatnya maupun yang pernah didengarnya.
Kesimpulan penting Ibn Sabi’in dengan logikanya tersebut adalah bahwa realitasa-realitas
logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah yang memberi kesan adanya wujud
jamak sekedar ilusi belaka. Ibn Sab’in mengembankan pahamnyan tentang kesatuan
mutlak, ke berbagai bidang bahasan filosofis. Misalnya, menurutnya jiwa dan
akal-budi tidak mempunyai wujudnya sendiri, tetapi wujud keduanya berasal dari
yang satu , dan yang satu tersebut tidak terbilang.
Di samping itu, Ibn Sab’in berpendapat bahwa para pencapai kesatuan mutlak
adalah kebahagiaan itu sendiri, kebajikan itu senidri, dan kedermawanan itu
sendiri. Yang
menarik dari pendapat Ibn Sa’bin ialah bahwa latihan-latihan rohaniah, yang
bisa mengantar pada moral luhur, tunduk di bawah konsepsinya tentang wujud.
Misalnya saja dzikir seorang pencapai kesatuan mutlak adalah ungkapan “tidak
ada yang wujud selain Allah” sebagai ganti “tidak ada Tuhan selain Allah”. Si
pendzikir dalam dzikir ini sendiri adalah yang dzikir. Sementara tingkatan dan
keadaan, yang merupaka buah dari dzikir, tidak keluar dari ruang lingkup
kesatuan mutlak tersebut.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari materi-materi yang dijelaskan di atas mengenai pembahasan tasawuf
falsafi, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf
yang mengenal Tuhan (ma’rifat)
dengan pendekatan rasional (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja
(ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdat al- wujud (kesatuan wujud).
2.
Tokoh-tokoh tasawuf
falsafi serta ajaran-ajarannya antara lain yaitu:
a.
Ibn Arabi
Ajaran tasawufnya yaitu yang paling sentral adalah wahdat al-wujud
(kesatuan wujud).
b.
Al-Jilli
Ajaran tasawufnya yaitu tentang insan kamil (manusia sempurna).
c.
Ibn Sabi’in
Ajaran tasawufnya yaitu tentang kesatuan mutlak dan ia menolak terhadap
logika Aristotelian.
Jadi yang menjadi karakteristik dari tasawuf falsafi adalah ajarannya lebih mengarah pada teori-teori yang
rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam, mengedepankan akal,
ajarannya memadukan antara visi mistis dan rasional.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Moh. Toriquddin. 2008. Sekularitas Tasawuf. Malang: UIN Malang Press.
M. Afif Anshor. 2004. Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
M. Solihin dan Rosihan Anwar. 2002. Kamus Tasawuf Bandung: Remaja Rosdakarya
Jamil.
2013. Akhlak Tasawuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar