BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori Gestalt
diperkenalkan oleh Frederick (Fritz) Salomon Perls (1983-1970). Gestalt
dalam bahasa Jerman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi. Kata itu
mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan (schultz, 1991:171). Simkin
dalam (Gilliland, 1989: 92) menyatakan bahwa kata Gestalt mempunyai
makna keseluruhan (whole) atau konfigurasi (configuration).
Dengan demikian, Perls lebih mengutamakan adanya integrasi bagian- bagian
terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh. Integrasi ini merupakan hal penting
dan menjadi fungsi dasar bagi manusia (Zainal, 2002: 89).
Dalam pendekatan Gestalt
terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai (unfinished business),
yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam,
kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, dan rasa
diabaikan.Meskipun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan
dengan ingatan-ingatan dan fantasi-fantasi tertentu. Karena tidak terungkapkan
di dalam kesadaran, perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan
di bawa pada kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan yang
efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain (James Bernan, 2006: 287).
Teori Gestalt adalah terapi humanistik
eksistensial yang berlandaskan premis, bahwa individu harus menemukan caranya
sendiri dalam hidup dan menerima tanggung jawab pribadi jika individu ingin
mencapai kedewasaan. Sebagai seorang calon konselor atau guru BK, maka sangat
penting bagi kita untuk memahami teori Gestalt sebagai acuan dalam membantu klien/siswa,
karena teori ini mengajarkan pada klien bagaimana mencapai kesadaran tentang
apa yang mereka rasakan dan lakukan serta belajar bertanggung jawab atas
perasaan, pikiran dan tindakan sendiri (Surya, 1988: 55).